Jumat, 08 Oktober 2010

" HIDUP INI UNTUK EMAK "


CERITA INI ORIGINAL DI TULIS OLEH A B I D I N.

SELAMAT MEMBACA.


Kenapa aku harus terlahir dalam kondisi seperti ini, kaki

kananku lumpuh total dan tidak bisa kugerakkan sedikitpun,

hanya tongkat kayu kusam ini yang menemani setiap

langkahku. Duabelas tahun sudah aku menjadi beban untuk

emak. Dalam hati, diri ini selalu berbisik lirih, aku bangga luar

biasa kepada emak yang tidak pernah lelah mengurusku, tidak

pernah letih mencari nafkah keluarga karena bapak harus libih

dulu di panggil Allah yang sudah merindukan bapakku, tetapi

disisi lain aku sangat kasian melihat ibu harus berjualan nasi

urap setip shubuh, dan menjadi buruh cuci di rumah cik lian

setiap hari untuk membiayaiku duduk di bangku sekolah

menengah pertama. Ingin rasanya aku bisa berdiri di atas

kakiku sendiri, berjalan seperti kawan-kawan yang lain,

berlari-lari seperti mereka, memakai celana seragamku

sendiri, dan melompat setinggi-tingginya hingga kepalaku

menyentuh langir yang biru.

Emak, aku pengen engaku istirahat dan melihat aku bisa

berdiri mak. Aku yakin kakiku bisa sembuh mak, aku bisa

bantu emak jualan nasi urap, emak tidak perlu membantuku

lagi memakaikan celana seragamku. Pagi ini aku bertekat

untuk mencoba berdiri, aku paksakan kakiku bergerak, aku

pegangkan kedua tanganku di kursi, sakit luar biasa terasa

pada kaki kananku, dan kaki kiriku terasa lemas karena harus

menopang badanku, kugigit bibirku hingga terasa nyeri untuk

menahan sakitnya kakiku. sedikit lagi aku bisa berdiri, aku

paksakan bibirku tergigit untuk menahan sakit, meskipun sakit

semakin menjadi-jadi dan semakin luar biasa. Sedikit lagi aku

berhasil berdiri sendiri, tetapi tiba-tiba tubuhku terjatuh

dan berserak dilantai seperti dibanting rasanya, dadaku sesak

sempat beberapa detik tidak mampu mengirup udara, nafasku

tersengal-sengal diiringi keringat yang lumayan membasahi

mukaku.

Pagi ini sepertinya aku harus kembali ditemani tongkat kayu

kusam ini, melelahkan rasanya harus berjalan tertatih

setengah jam lamanya untuk datang ke sekolahku, sepatu

kananku selalu saja harus berbecak lumpur karena harus ku

seret sepanjang jalan. Iri rasanya melihat teman-teman yang

lain berbalap sepeda untuk menuju sekolah, ada yang berlari-

larian, tapi kata emak ini adalah yang terbaik yang Allah

berikan untukku, setiap kali aku ingat kata emak aku

tersenyum kecil dan bersemangat untuk bisa menjalani hidup

dengan penuh amal agar kelak di surga aku bisa berlari untuk

bertemu dengan bapak di telaga Rasulullah. Seperti biasa,

pagi ini aku harus mampir kerumah pak Bonar untuk mengambil

tremos es dan opak untuk aku jajakan di sekolahku, emak

tidak tau aku belajar bekerja keras dan belajar mendiri. Aku

tenteng tremos es dan beberapa ikat opak dalam plastik,

butuh energi yang luarbiasa untuk membawanya kesekolahku,

aku harus mandi keringat setiap pagi untuk belajar hidup

ditengah kehidupan. Aku tabung keuntungan sedikit demi

sedikit dari uang penjualan ini, aku ingin membelikan emak

sepeda baru agar beliau tidak lagi berjalan kaki menempuh

lima kilometer perjalanan untuk berjualan urap. Usia emak

sudah tidak sepantasnya bekerja sedemikian keras. Lelah kaki

melangkah tertatih-tatih menuju sekolah, akhirnya mataku

menatap tajam papan biru yang terpaku di ujung jalan yang

bergambar lambang muhammadiyah, menandakan sekolahku

sudah tidak jauh lagi, aku percepat ayunan tongkatku. Saat

aku sedang teduh belajar di kelas mungkin mamak sekarang

sedang menjajakan nasi urapnya di bawah terik matahari dan

pasar yang penuh kekejaman. Saat jam istirahat tiba, aku

dipanggil untuk menghadap kepala sekolah, hati ini berdebar-

debar dan seakan sudah tidak di tempatnya lagi, keringat

dingin membasahi keningku, salah apa yang sudah saya

perbuat hingga hari ini harus mendapat teguran atau bahkan

peringatan dari kepala sekolah.

Perlahan aku masuk kedalam ruangan beliau, dan nampak

beliau yang sedang menulis sesuatu di atas kertas, setelah

aku ketuk perlahan pintunya perhatian beliau tertuju padaku,

senyum lebarnya sedikit mencairkan keteganganku, lau dengan

ramah beliau mempersilahkanku duduk setelah beliau

memberitahuku tujuan dan maksudnya memanggilku lega

rasanya hati ini. Ternyata beliau menunjukku sebagai wakil

sekolah kami untuk mengikuti lomba baca puisi di kota

seberang sungai tingkat provinsi.

Aku akan belatih sekuat tulangku, aku akan membanggakan

mamak. Aku ingin Allah tersenyum melihatku, melihat

makhluknya yang berusaha kuat ditengan tubuhnya yang

lemah, yang selalu berusaha tersenyum ditengah tangis batin.

Emak bilang, Allah pasti punya rencana tersendiri untukku,

Allah menciptakanku cacat bukan karena kelalaianNya, tapi

itulah tanda kekuasaannya yang maha tidak terbatas.

sehabis shalat magrib aku cium tangan mamak penuh kasih,

malam ini aku berlatih mati-matian untuk mempersiapkan

lomba baca puisi di SMP KOTA seberang sungai tersebut, api

yang terpancar dari lampu minyak tanah dari kaleng bekas

yang berada tepat dihadapanku seakan ikut gelisah dengan

berkobar ke kiri dan ke kanan, sesekali aku lihat mamak yang

sedang sibuk mempersiapakan barang dagangan untuk besok,

aku dengar mamak memanggilku,

"adit, besok bilang sama Bu Rini ya le, mamak belum bisa

melunasi spp kamu bulan ini, tapi insyaAllah akan segera

mamak bayarkan kalau sudah terkumpul semua, maafin mamak

ya le harus membuat kamu malu kepada teman-teman kamu

karena spp kamu yang harus nunggak lagi" ungkap mamak

terlihat merasa bersalah dan sedih bukan kepalang.

" Jangan ngomong seperti itu mak, aku yang seharusnya minta

maaf karena nggak bisa bantuin mamak nyari nafkah yang

cukup, aku cuma bisa ngerepotin mamak, tapi aku janji mak,

kalau adit sudah dewasa nanti aku akan nyari uang sekuat

tenaga adit buat mamak, biar mamak nggak perlu capek-capek

lagi jualan nasi urap, pekan depan adit ikut lomba baca puisi

mak, doain adit menang ya mak, Adit pengen mamak bisa

dateng di lomba itu mak"

"Pasti le, pasti mamak doain kamu, mamak akan berusaha

dateng le, Allah akan memeberimu yang terbaik, banyak

berdoa dan terus istiqomah ya le" aku ingat betul kata-kata

mamak yang ini, dan tiba-tiba mamak batuk hebat, seperti

mencekik leher rasanya, aku melihat tangan mamak bersimpah

darah yang berwarna kehitaman karena digunakan untuk

menutup mulutnya saat batuk.

" mamak sakit? mamak bisa gunain dulu uang SPP adit buat

berobat, uang bisa di cari lagi mak, biar adit yang ngomong

sama ibu Rini (Bendahara sekolah), pasti beliau bisa mengerti

mak" kataku tegas karena aku tidak tega melihat mamak

mengorbankan kesehatannya untuk membiayaiku duduk di

bangku SMP, air mata ini tak sanggup lagi kubendung, terus

mengalir dan membasahi pipiku, tapi apa daya, diri ini tidak

bisa berbuat banyak.

" Mamak nggak sakit kok, mamak cuma batuk biasa, adit nggak

usah khawatirr " kata mamak sambil berusaha tersenyum kecil

untuk menenagkanku, dan kemudian emak kebelakang dan

ternyata mamak selama ini meyembunyikan sakitnya dariku.

Tidurku tidak pernah nyenyak, selalu dibayang-bayang beban

hidup yang semakin berat.Tengah malam larut menjemput

sepertiga terakhir, aku tatihkan tongkatku untuk

mengantarku ke belakang untuk mengambil air wudhu, aku

basuh mukaku dengan air sesejuk embun surga itu untuk

mendinginkan kepalaku yang terasaberat karena beban pikiran

yang semakin manjadi-jadi. Seuasi empat rakaat tahajud yang

aku bermunajat kepada Allah yang menggenggam yang

memiliki skenario di balik derita demi derita yang terus

menguji kekuatan jiwaku.

Allah, aku yakin engkau mendengar keluh hamba ini.
aku tidak pernah mengeluh Allah atas cacat yang engkau

takdirkan untuk kakiku, aku tidak pernah mencelamu meskipun

aku selalu di hujani celaan oleh teman-temanku,
masih belum cukupkah penderitaan yang engkau berikan

kepada hamba, bila hati ini terlalu keruh mendapat

kebahagiaanmu bersihkanlah hati ini ya Allah,
bila ada dosa yang membuatMu marah kepadaku ampunkanlah

ya Allah,
Hamba ingin merasakan sedikit saja kebahagiaanMu, sedikit

saja.
Hamba ikhlas menerima semua ini,
jika hamba engkau izinkan untuk memanjatkan satu

permintaan aku tidak akan meminta kaki ini bisa berjalan, tapi

aku akan meminta kebahagiaan untuk mamak, cukup aku yang

engkau hukum ya Allah jangan engkau beri penderitaan pada

mamakku.
Buktikan padaku ya Allah, apa yang selalu mamak katakan

padaku bahwa engkau adalah yang maha pengasih, Engkau yang

maha mendengar doa-doa hambanya.


Hari yang berhari-hari kunantikan pun tiba, hari lomba baca

puisi yang diikuti oleh seluruh siswa utusan sekolah mereka

masing-masing seprovinsi, pak Suroso memboncengku dengan

sepedanya untuk dapat sampai tepat waktu di SMP Kota

seberang sungai yang terkenal mewah dan kondisinya sangat

jauh bila dibandingkan dengan keberadaan SMP kami, sepatu

pinjaman dari Dino yang aku kenakan untuk lomba begitu

kebesaran ukurannya di kakiku, menit demi menit tergerus

matahari yang sudah mulai naik dan menampakkan sinarnya

yang luarbiasa indah, mulutku tidak henti berkomat-kamit

berlatih sepanjang jalan, akhirnya sampai juga aku di SMP

KOTA yang banyak dibicarakan orang itu, sudah ramai orang

disana, sepertinya peserta lombanya benar-benar tidak

sedikit, nampak pakaian rapi dan sangat layak dikenakan oleh

semua peserta lomba yang hampir semua di dampingi oleh

orangtuanya yang terlihat sangat mendukung anaknya, tadi

pagi mamak bilang akan hadir di perlombaan ini, mamak janji

akan datang dan melihatku membacakan puisiku.Aku sangat

berharap mamak bisa datang.


Aku di bawa masuk ke dalam ruang lomba, semua peserta

didudukkan di bangku yang tampak sudah dipersiapkan

sebelumnya, ruangannya luarbiasa besar, belum pernah

seumur usiaku memasuki ruang sebesar ini, kipas angin listrik

tampak semangat berputar di bagian atapnya, ruang yang

dipintunya tertulis GSG SMP KOTA tersebut menjadikan

denyut jantungku bertambah cepat, semua mata tertuju pada

diriku saat aku mengayunkan tongkatku ke dalam ruangan yang

berlantai keramik putih tersebut, tatapan mereka terlihat

terheran-heran melihat kecacatan tubuhku, aku semakin

minder ditambah lagi aku datang tidak bersama orang tua

yang mendampingiku. Lomba pun dimulai, nomor urut lomba

yang aku genggam bertuliskan angka 45, menandakan aku

mendapat giliran tampil yang ke-45, semua peserta lomba

begitu luar biasa dalam bersastra, waktu begitu cepat

berlalu, hati semakin gelisah saja mamak belum juga

menampakkan wajahnya, ber kali-kali aku tolehkan leherku ke

arah pintu masuk berharap besar wajah mamak muncul disana,

namun harapan sudah digerus oleh waktu, lama kulihat

wajahnya tak kunjung nampak. Ada apa dengan mamak,

seharusnya jam segini beliau sudah selesai berjualan,

bukankah lokasi SMP Kota sangat dekat dengan pasar dimana

emak sering berjualan? Hati ini semakin gelisah dibuatnya.


Tiba saatnya juri menyebutkan namaku dengan lantang seolah

memecah gedung menjadi dua bagian, jantungku seketika

berhenti berdetak kala itu, aku tegakkan kedua tongkatku

untuk membantuku bediri karena darahku sepertinya tidak

mengalir lagi. semua mata melihatku, seolah aku adalah

makhluk asing di situ, atau mungkin karena cacat kakiku?.

mukaku semakin pucat, hati kecilku berbisik keras, aku pasti

bisa, ini semua aku persembahkan untuk mamak, aku inggin

membanggakan dirinya, aku ingin membuktikan bila aku

bukanlah anak cacat yang hanya bisa menjadi beban hidupnya

saja, senyum emak hadir di bayang-bayangku, seketika aku

bangkit dengan semangat, aku ayunkan tongkatku dengan

pasti dan
Inalilllahi.....petanda apa ini, aku tersungkur di lantai

berkarpet, tongkat kananku seketika patah, dan pak Suroso

langsung membantuku, tapi aku yakinkan semua penonton

bahwa aku baik-baik saja, terpaksa aku bacakan puisiku ini di

atas kursi karena aku tindak akan pernah mampu berdiri tanpa

tongkat ini.

Enatah kenapa, aku merasa emak memelukku erat saat aku

bacakan puisiku, aku merasa benar hangatnya peluk emak, air

mataku mengalir saat bibir ini mengucap kata demi kata, bait

demi bait puisiku, entah kenapa bibirku terbata-bata seperti

beku saja lidahku ini. Seakan-akan angin surga bertiup

membasahi mukaku, wajah emak cerah seperti terbasuh

wudhu dari air telaga rasulullah, cerah dan senyumnya

terlihat seperti menyemangatiku, tapi aku sadar benar ini

hanya bayangan dan perasaanku. Air mataku tak henti

menetes, hingga kata-kata terakhir dalam puisikupun terucap

oleh bibirku, aku akhiri dengan menutup mataku untuk

menghela nafas, gemuruh tepuk tangan menyambutku, semua

orang yang ada di gedung itu berdiri, dan aku lihat tatapan

mereka memberi semangat dan harapan padaku.

Tiba saatnya juri mengumumkan sang juara yang berhak

menerima piala yang sejak pagi di pamerkan berdiri gagah di

depan kami, piala berwarna kuning emas penuh kilau ,

didampingi hadiah bingkisan-bingkisan lain yang tak terhitung

jumlahnya, aku sudah tak lagi mengharap hadir sebagai juara,

yang aku pinta hanyalah kebahagiaan emak, semoga angin

menyampaikan terimakasihku kepada emak, menyampaikan

kebanggaanku kepadanya, menyampaikan pinta maafku

kepadanya. Kecewa rasanya hati ini emak tidak dapat hadir

melihat anak cacat yang dilahirkannya berusaha tegar dan

bangga berdiri di atas tongkat penyanggaku.
Sang juri menyebut SMP Kota peraih juara tiga, disusul SMP

Teladan 1 peraih juara dua, tiba saatnya juri membuka amplop

peraih juara satu, dan ternyata juri menyebut namaku

dengan lantang sebagai juaranya. Darahku seolah berhenti

mengalir, mataku terperangah menatap tajam sumber suara,

dalam hati aku berteriak alhamdulilahirabilalamin.


Aku benar-benar tidak menyangka akan meraih juara pertama

dan membawa pulang piala tersebut, selain piagam

penghargaan aku juga diberi uang pembinaan yang nilainya

luarbiasa besar, jumlah uang yang tidak pernah aku lihat dan

pegang, uang tiga juta rupiah diberikan kepadaku. Ini adalah

kado terindah dari Allah, aku sekarang semakin percaya

dengan Kekuasaan Allah yang maha menyelimuti makhlukNya.

Hadiah ini aku persembahkan untuk emak, akan aku belikan

sepeda baru buat emak, akan aku lunasi spp yang selama ini

membebani emak, emak harus segera berobat ke dokter agar

penyakit yang selama ini dipendamnya sembuh dan emak bisa

bahagia.

Aku sudah tidak sabar untuk pulang dan bertemu dengan

emak. Motor pak suroso yang membawaku pulang melaju

cepat, seakan motor ini tahu betul kalau aku menjadi orang

yang paling bahagia di dunia. Pak suroso tak henti memujiku

sisepanjang jalan, dan tak terasa akhirnya sampai juga aku di

kampung halamanku.


Betapa aku kaget bukan kepalang ketika aku turunkan kakiku

dari motor, rumah papanku dikerumuni banyak orang, isak

tangis dan raut wajah penuh sendu yang aku lihat dari ci' lan

majikan emak, dengan satu tongkat aku kayuhkan menuju

kerumuanan orang di depan rumahku, aku tatap tajam mata

cik lan sambil bertanya apa yang sebenarnya terjadi, cik lan

hanya menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air

mata, aku semakin bertanya-tanya, mataku ikut berkaca-kaca

dan beralih bertanya kepada tetanggaku yang lain dengan

nada yang semakin keras karena tak ada jawaban, hal sama

aku peroleh dari orang-orang yang lain, mereka hanya menoleh

kearah ruang tamu, aku ayunkan tongkatku yang tinggal

sebelah dan membopong piala kebanggaan untuk emak, aku

yakin benar emak pasti bahagia melihatku dapat meraih juara

dalam lomba itu.

Kepalaku seperti disambar petir disiang hari saat memasuki

ruang tamu, disana kutemukan emak terbaring diatas tikar,

kain kafan putih membalut tubuhnya, wajahnya tampak pucat

dan putih, ini semua adalah bohong, katakan Allah, ini semua

hanyalah mimpi, bangunkan aku dari tidurku ya Allah, katakan

padaku ini hanyalah mimpi terburuk dalam tidurku.
aku gerakkan badannya,

"Emak, bangun mak....
liat mak, apa yang adit bawa, adit bawa piala yang selama ini

adit impikan mak"
aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum lebar di tengah

isak tangisku.

"Ini mak, ini uang untuk emak, untuk berobat emak, untuk beli

sepeda baru buat emak....mak....ngomong mak....ngomong mak....
emak ingin lihat adit bisa berdiri...?

"ini adit berdiri untuk emak"

aku berusaha sekuat tulangku untuk menjatuhkan tongkatku

kelantai,

"lihat mak, adit bisa berdiri mak.....adit bisa berdiri..."

Aku tahan sakit yang luar biasa dikakiku, agar emak bisa

melihatku berdiri sendiri, tidak lebih dari satu menit aku

tersungkur dan mencoba untuk bangkit kembali, tapi pak

suroso memeluku dari belakang, beliau tahu betul bagaimana

perasaanku.

Seakan jiwa ini tidak bisa menerima kenyataan bahwa emak

sudah kembali kepada Allah, kenapa harus secepat ini, kenapa

Allah tidak mengizinkanku untuk membahagiakan mamak

sedikit saja, rasanya baru kemarin mamak meyakinkanku

untuk bisa meraih kesuksesan ditengah keterbatasan yang

Allah karuniakan untukku.

*bersambung.....

Jumat, 01 Oktober 2010

the asraf




Namaku abie embek....

the asraf, adalah nama gengku di kampus, kami bersahabat sejak kami di takdirkan sekelas. dan mungkin ini adalah bagian dari sekenario Allah, kami di pertemukan dalam satu kelas, ada Tian asraf, mahya asraf, ada doni asraf, dan tamrin asraf, serta saya sendiri abie asraf.

Kami bersama dengan karakter kami masing- masing, meskipun kami sadar kami tidak selalu bersama tapi kami berharap persahabatan kami bisa terus menemani kami dalam menempuh perjalanan kami dalam menjemput impian kami masing-masing.


menurut saya sahabat adalah sosok yang luar biasa di dalam hidup dan pantas di tempatkan di ruang istimewa di hati kita, karena sahabatlah yang akan mengingatkan kita di saat kita salah langkah, karena sahabatlah yang merelakan bahunya untuk kita bersandar ketika kita jatuh dan terluka, terkadang kita hanya mau dan bisa menghargai sahabat di kala kita membutuhkannya saja, tapi bagi kami sahabat adalah kebersamaan kita di kala susah dan senang, di saat salah satu di antara kami di timpa masalah seharusnya yang lain berusaha membantu mencarikan solusi. Saya bangga banget bisa menjadi bagian dari the asraf, semoga rasa kekeluargaan di anatara kami selalu bersinar sampai kami meraih sukses masing-masing dan sampai ajal Allah memisahkan kami.