CERITA INI ORIGINAL DI TULIS OLEH A B I D I N.
SELAMAT MEMBACA.
SELAMAT MEMBACA.
Kenapa aku harus terlahir dalam kondisi seperti ini, kaki
kananku lumpuh total dan tidak bisa kugerakkan sedikitpun,
hanya tongkat kayu kusam ini yang menemani setiap
langkahku. Duabelas tahun sudah aku menjadi beban untuk
emak. Dalam hati, diri ini selalu berbisik lirih, aku bangga luar
biasa kepada emak yang tidak pernah lelah mengurusku, tidak
pernah letih mencari nafkah keluarga karena bapak harus libih
dulu di panggil Allah yang sudah merindukan bapakku, tetapi
disisi lain aku sangat kasian melihat ibu harus berjualan nasi
urap setip shubuh, dan menjadi buruh cuci di rumah cik lian
setiap hari untuk membiayaiku duduk di bangku sekolah
menengah pertama. Ingin rasanya aku bisa berdiri di atas
kakiku sendiri, berjalan seperti kawan-kawan yang lain,
berlari-lari seperti mereka, memakai celana seragamku
sendiri, dan melompat setinggi-tingginya hingga kepalaku
menyentuh langir yang biru.
Emak, aku pengen engaku istirahat dan melihat aku bisa
berdiri mak. Aku yakin kakiku bisa sembuh mak, aku bisa
bantu emak jualan nasi urap, emak tidak perlu membantuku
lagi memakaikan celana seragamku. Pagi ini aku bertekat
untuk mencoba berdiri, aku paksakan kakiku bergerak, aku
pegangkan kedua tanganku di kursi, sakit luar biasa terasa
pada kaki kananku, dan kaki kiriku terasa lemas karena harus
menopang badanku, kugigit bibirku hingga terasa nyeri untuk
menahan sakitnya kakiku. sedikit lagi aku bisa berdiri, aku
paksakan bibirku tergigit untuk menahan sakit, meskipun sakit
semakin menjadi-jadi dan semakin luar biasa. Sedikit lagi aku
berhasil berdiri sendiri, tetapi tiba-tiba tubuhku terjatuh
dan berserak dilantai seperti dibanting rasanya, dadaku sesak
sempat beberapa detik tidak mampu mengirup udara, nafasku
tersengal-sengal diiringi keringat yang lumayan membasahi
mukaku.
Pagi ini sepertinya aku harus kembali ditemani tongkat kayu
kusam ini, melelahkan rasanya harus berjalan tertatih
setengah jam lamanya untuk datang ke sekolahku, sepatu
kananku selalu saja harus berbecak lumpur karena harus ku
seret sepanjang jalan. Iri rasanya melihat teman-teman yang
lain berbalap sepeda untuk menuju sekolah, ada yang berlari-
larian, tapi kata emak ini adalah yang terbaik yang Allah
berikan untukku, setiap kali aku ingat kata emak aku
tersenyum kecil dan bersemangat untuk bisa menjalani hidup
dengan penuh amal agar kelak di surga aku bisa berlari untuk
bertemu dengan bapak di telaga Rasulullah. Seperti biasa,
pagi ini aku harus mampir kerumah pak Bonar untuk mengambil
tremos es dan opak untuk aku jajakan di sekolahku, emak
tidak tau aku belajar bekerja keras dan belajar mendiri. Aku
tenteng tremos es dan beberapa ikat opak dalam plastik,
butuh energi yang luarbiasa untuk membawanya kesekolahku,
aku harus mandi keringat setiap pagi untuk belajar hidup
ditengah kehidupan. Aku tabung keuntungan sedikit demi
sedikit dari uang penjualan ini, aku ingin membelikan emak
sepeda baru agar beliau tidak lagi berjalan kaki menempuh
lima kilometer perjalanan untuk berjualan urap. Usia emak
sudah tidak sepantasnya bekerja sedemikian keras. Lelah kaki
melangkah tertatih-tatih menuju sekolah, akhirnya mataku
menatap tajam papan biru yang terpaku di ujung jalan yang
bergambar lambang muhammadiyah, menandakan sekolahku
sudah tidak jauh lagi, aku percepat ayunan tongkatku. Saat
aku sedang teduh belajar di kelas mungkin mamak sekarang
sedang menjajakan nasi urapnya di bawah terik matahari dan
pasar yang penuh kekejaman. Saat jam istirahat tiba, aku
dipanggil untuk menghadap kepala sekolah, hati ini berdebar-
debar dan seakan sudah tidak di tempatnya lagi, keringat
dingin membasahi keningku, salah apa yang sudah saya
perbuat hingga hari ini harus mendapat teguran atau bahkan
peringatan dari kepala sekolah.
Perlahan aku masuk kedalam ruangan beliau, dan nampak
beliau yang sedang menulis sesuatu di atas kertas, setelah
aku ketuk perlahan pintunya perhatian beliau tertuju padaku,
senyum lebarnya sedikit mencairkan keteganganku, lau dengan
ramah beliau mempersilahkanku duduk setelah beliau
memberitahuku tujuan dan maksudnya memanggilku lega
rasanya hati ini. Ternyata beliau menunjukku sebagai wakil
sekolah kami untuk mengikuti lomba baca puisi di kota
seberang sungai tingkat provinsi.
Aku akan belatih sekuat tulangku, aku akan membanggakan
mamak. Aku ingin Allah tersenyum melihatku, melihat
makhluknya yang berusaha kuat ditengan tubuhnya yang
lemah, yang selalu berusaha tersenyum ditengah tangis batin.
Emak bilang, Allah pasti punya rencana tersendiri untukku,
Allah menciptakanku cacat bukan karena kelalaianNya, tapi
itulah tanda kekuasaannya yang maha tidak terbatas.
sehabis shalat magrib aku cium tangan mamak penuh kasih,
malam ini aku berlatih mati-matian untuk mempersiapkan
lomba baca puisi di SMP KOTA seberang sungai tersebut, api
yang terpancar dari lampu minyak tanah dari kaleng bekas
yang berada tepat dihadapanku seakan ikut gelisah dengan
berkobar ke kiri dan ke kanan, sesekali aku lihat mamak yang
sedang sibuk mempersiapakan barang dagangan untuk besok,
aku dengar mamak memanggilku,
"adit, besok bilang sama Bu Rini ya le, mamak belum bisa
melunasi spp kamu bulan ini, tapi insyaAllah akan segera
mamak bayarkan kalau sudah terkumpul semua, maafin mamak
ya le harus membuat kamu malu kepada teman-teman kamu
karena spp kamu yang harus nunggak lagi" ungkap mamak
terlihat merasa bersalah dan sedih bukan kepalang.
" Jangan ngomong seperti itu mak, aku yang seharusnya minta
maaf karena nggak bisa bantuin mamak nyari nafkah yang
cukup, aku cuma bisa ngerepotin mamak, tapi aku janji mak,
kalau adit sudah dewasa nanti aku akan nyari uang sekuat
tenaga adit buat mamak, biar mamak nggak perlu capek-capek
lagi jualan nasi urap, pekan depan adit ikut lomba baca puisi
mak, doain adit menang ya mak, Adit pengen mamak bisa
dateng di lomba itu mak"
"Pasti le, pasti mamak doain kamu, mamak akan berusaha
dateng le, Allah akan memeberimu yang terbaik, banyak
berdoa dan terus istiqomah ya le" aku ingat betul kata-kata
mamak yang ini, dan tiba-tiba mamak batuk hebat, seperti
mencekik leher rasanya, aku melihat tangan mamak bersimpah
darah yang berwarna kehitaman karena digunakan untuk
menutup mulutnya saat batuk.
" mamak sakit? mamak bisa gunain dulu uang SPP adit buat
berobat, uang bisa di cari lagi mak, biar adit yang ngomong
sama ibu Rini (Bendahara sekolah), pasti beliau bisa mengerti
mak" kataku tegas karena aku tidak tega melihat mamak
mengorbankan kesehatannya untuk membiayaiku duduk di
bangku SMP, air mata ini tak sanggup lagi kubendung, terus
mengalir dan membasahi pipiku, tapi apa daya, diri ini tidak
bisa berbuat banyak.
" Mamak nggak sakit kok, mamak cuma batuk biasa, adit nggak
usah khawatirr " kata mamak sambil berusaha tersenyum kecil
untuk menenagkanku, dan kemudian emak kebelakang dan
ternyata mamak selama ini meyembunyikan sakitnya dariku.
Tidurku tidak pernah nyenyak, selalu dibayang-bayang beban
hidup yang semakin berat.Tengah malam larut menjemput
sepertiga terakhir, aku tatihkan tongkatku untuk
mengantarku ke belakang untuk mengambil air wudhu, aku
basuh mukaku dengan air sesejuk embun surga itu untuk
mendinginkan kepalaku yang terasaberat karena beban pikiran
yang semakin manjadi-jadi. Seuasi empat rakaat tahajud yang
aku bermunajat kepada Allah yang menggenggam yang
memiliki skenario di balik derita demi derita yang terus
menguji kekuatan jiwaku.
Allah, aku yakin engkau mendengar keluh hamba ini.
aku tidak pernah mengeluh Allah atas cacat yang engkau
takdirkan untuk kakiku, aku tidak pernah mencelamu meskipun
aku selalu di hujani celaan oleh teman-temanku,
masih belum cukupkah penderitaan yang engkau berikan
kepada hamba, bila hati ini terlalu keruh mendapat
kebahagiaanmu bersihkanlah hati ini ya Allah,
bila ada dosa yang membuatMu marah kepadaku ampunkanlah
ya Allah,
Hamba ingin merasakan sedikit saja kebahagiaanMu, sedikit
saja.
Hamba ikhlas menerima semua ini,
jika hamba engkau izinkan untuk memanjatkan satu
permintaan aku tidak akan meminta kaki ini bisa berjalan, tapi
aku akan meminta kebahagiaan untuk mamak, cukup aku yang
engkau hukum ya Allah jangan engkau beri penderitaan pada
mamakku.
Buktikan padaku ya Allah, apa yang selalu mamak katakan
padaku bahwa engkau adalah yang maha pengasih, Engkau yang
maha mendengar doa-doa hambanya.
Hari yang berhari-hari kunantikan pun tiba, hari lomba baca
puisi yang diikuti oleh seluruh siswa utusan sekolah mereka
masing-masing seprovinsi, pak Suroso memboncengku dengan
sepedanya untuk dapat sampai tepat waktu di SMP Kota
seberang sungai yang terkenal mewah dan kondisinya sangat
jauh bila dibandingkan dengan keberadaan SMP kami, sepatu
pinjaman dari Dino yang aku kenakan untuk lomba begitu
kebesaran ukurannya di kakiku, menit demi menit tergerus
matahari yang sudah mulai naik dan menampakkan sinarnya
yang luarbiasa indah, mulutku tidak henti berkomat-kamit
berlatih sepanjang jalan, akhirnya sampai juga aku di SMP
KOTA yang banyak dibicarakan orang itu, sudah ramai orang
disana, sepertinya peserta lombanya benar-benar tidak
sedikit, nampak pakaian rapi dan sangat layak dikenakan oleh
semua peserta lomba yang hampir semua di dampingi oleh
orangtuanya yang terlihat sangat mendukung anaknya, tadi
pagi mamak bilang akan hadir di perlombaan ini, mamak janji
akan datang dan melihatku membacakan puisiku.Aku sangat
berharap mamak bisa datang.
Aku di bawa masuk ke dalam ruang lomba, semua peserta
didudukkan di bangku yang tampak sudah dipersiapkan
sebelumnya, ruangannya luarbiasa besar, belum pernah
seumur usiaku memasuki ruang sebesar ini, kipas angin listrik
tampak semangat berputar di bagian atapnya, ruang yang
dipintunya tertulis GSG SMP KOTA tersebut menjadikan
denyut jantungku bertambah cepat, semua mata tertuju pada
diriku saat aku mengayunkan tongkatku ke dalam ruangan yang
berlantai keramik putih tersebut, tatapan mereka terlihat
terheran-heran melihat kecacatan tubuhku, aku semakin
minder ditambah lagi aku datang tidak bersama orang tua
yang mendampingiku. Lomba pun dimulai, nomor urut lomba
yang aku genggam bertuliskan angka 45, menandakan aku
mendapat giliran tampil yang ke-45, semua peserta lomba
begitu luar biasa dalam bersastra, waktu begitu cepat
berlalu, hati semakin gelisah saja mamak belum juga
menampakkan wajahnya, ber kali-kali aku tolehkan leherku ke
arah pintu masuk berharap besar wajah mamak muncul disana,
namun harapan sudah digerus oleh waktu, lama kulihat
wajahnya tak kunjung nampak. Ada apa dengan mamak,
seharusnya jam segini beliau sudah selesai berjualan,
bukankah lokasi SMP Kota sangat dekat dengan pasar dimana
emak sering berjualan? Hati ini semakin gelisah dibuatnya.
Tiba saatnya juri menyebutkan namaku dengan lantang seolah
memecah gedung menjadi dua bagian, jantungku seketika
berhenti berdetak kala itu, aku tegakkan kedua tongkatku
untuk membantuku bediri karena darahku sepertinya tidak
mengalir lagi. semua mata melihatku, seolah aku adalah
makhluk asing di situ, atau mungkin karena cacat kakiku?.
mukaku semakin pucat, hati kecilku berbisik keras, aku pasti
bisa, ini semua aku persembahkan untuk mamak, aku inggin
membanggakan dirinya, aku ingin membuktikan bila aku
bukanlah anak cacat yang hanya bisa menjadi beban hidupnya
saja, senyum emak hadir di bayang-bayangku, seketika aku
bangkit dengan semangat, aku ayunkan tongkatku dengan
pasti dan
Inalilllahi.....petanda apa ini, aku tersungkur di lantai
berkarpet, tongkat kananku seketika patah, dan pak Suroso
langsung membantuku, tapi aku yakinkan semua penonton
bahwa aku baik-baik saja, terpaksa aku bacakan puisiku ini di
atas kursi karena aku tindak akan pernah mampu berdiri tanpa
tongkat ini.
Enatah kenapa, aku merasa emak memelukku erat saat aku
bacakan puisiku, aku merasa benar hangatnya peluk emak, air
mataku mengalir saat bibir ini mengucap kata demi kata, bait
demi bait puisiku, entah kenapa bibirku terbata-bata seperti
beku saja lidahku ini. Seakan-akan angin surga bertiup
membasahi mukaku, wajah emak cerah seperti terbasuh
wudhu dari air telaga rasulullah, cerah dan senyumnya
terlihat seperti menyemangatiku, tapi aku sadar benar ini
hanya bayangan dan perasaanku. Air mataku tak henti
menetes, hingga kata-kata terakhir dalam puisikupun terucap
oleh bibirku, aku akhiri dengan menutup mataku untuk
menghela nafas, gemuruh tepuk tangan menyambutku, semua
orang yang ada di gedung itu berdiri, dan aku lihat tatapan
mereka memberi semangat dan harapan padaku.
Tiba saatnya juri mengumumkan sang juara yang berhak
menerima piala yang sejak pagi di pamerkan berdiri gagah di
depan kami, piala berwarna kuning emas penuh kilau ,
didampingi hadiah bingkisan-bingkisan lain yang tak terhitung
jumlahnya, aku sudah tak lagi mengharap hadir sebagai juara,
yang aku pinta hanyalah kebahagiaan emak, semoga angin
menyampaikan terimakasihku kepada emak, menyampaikan
kebanggaanku kepadanya, menyampaikan pinta maafku
kepadanya. Kecewa rasanya hati ini emak tidak dapat hadir
melihat anak cacat yang dilahirkannya berusaha tegar dan
bangga berdiri di atas tongkat penyanggaku.
Sang juri menyebut SMP Kota peraih juara tiga, disusul SMP
Teladan 1 peraih juara dua, tiba saatnya juri membuka amplop
peraih juara satu, dan ternyata juri menyebut namaku
dengan lantang sebagai juaranya. Darahku seolah berhenti
mengalir, mataku terperangah menatap tajam sumber suara,
dalam hati aku berteriak alhamdulilahirabilalamin.
Aku benar-benar tidak menyangka akan meraih juara pertama
dan membawa pulang piala tersebut, selain piagam
penghargaan aku juga diberi uang pembinaan yang nilainya
luarbiasa besar, jumlah uang yang tidak pernah aku lihat dan
pegang, uang tiga juta rupiah diberikan kepadaku. Ini adalah
kado terindah dari Allah, aku sekarang semakin percaya
dengan Kekuasaan Allah yang maha menyelimuti makhlukNya.
Hadiah ini aku persembahkan untuk emak, akan aku belikan
sepeda baru buat emak, akan aku lunasi spp yang selama ini
membebani emak, emak harus segera berobat ke dokter agar
penyakit yang selama ini dipendamnya sembuh dan emak bisa
bahagia.
Aku sudah tidak sabar untuk pulang dan bertemu dengan
emak. Motor pak suroso yang membawaku pulang melaju
cepat, seakan motor ini tahu betul kalau aku menjadi orang
yang paling bahagia di dunia. Pak suroso tak henti memujiku
sisepanjang jalan, dan tak terasa akhirnya sampai juga aku di
kampung halamanku.
Betapa aku kaget bukan kepalang ketika aku turunkan kakiku
dari motor, rumah papanku dikerumuni banyak orang, isak
tangis dan raut wajah penuh sendu yang aku lihat dari ci' lan
majikan emak, dengan satu tongkat aku kayuhkan menuju
kerumuanan orang di depan rumahku, aku tatap tajam mata
cik lan sambil bertanya apa yang sebenarnya terjadi, cik lan
hanya menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air
mata, aku semakin bertanya-tanya, mataku ikut berkaca-kaca
dan beralih bertanya kepada tetanggaku yang lain dengan
nada yang semakin keras karena tak ada jawaban, hal sama
aku peroleh dari orang-orang yang lain, mereka hanya menoleh
kearah ruang tamu, aku ayunkan tongkatku yang tinggal
sebelah dan membopong piala kebanggaan untuk emak, aku
yakin benar emak pasti bahagia melihatku dapat meraih juara
dalam lomba itu.
Kepalaku seperti disambar petir disiang hari saat memasuki
ruang tamu, disana kutemukan emak terbaring diatas tikar,
kain kafan putih membalut tubuhnya, wajahnya tampak pucat
dan putih, ini semua adalah bohong, katakan Allah, ini semua
hanyalah mimpi, bangunkan aku dari tidurku ya Allah, katakan
padaku ini hanyalah mimpi terburuk dalam tidurku.
aku gerakkan badannya,
"Emak, bangun mak....
liat mak, apa yang adit bawa, adit bawa piala yang selama ini
adit impikan mak"
aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum lebar di tengah
isak tangisku.
"Ini mak, ini uang untuk emak, untuk berobat emak, untuk beli
sepeda baru buat emak....mak....ngomong mak....ngomong mak....
emak ingin lihat adit bisa berdiri...?
"ini adit berdiri untuk emak"
aku berusaha sekuat tulangku untuk menjatuhkan tongkatku
kelantai,
"lihat mak, adit bisa berdiri mak.....adit bisa berdiri..."
Aku tahan sakit yang luar biasa dikakiku, agar emak bisa
melihatku berdiri sendiri, tidak lebih dari satu menit aku
tersungkur dan mencoba untuk bangkit kembali, tapi pak
suroso memeluku dari belakang, beliau tahu betul bagaimana
perasaanku.
Seakan jiwa ini tidak bisa menerima kenyataan bahwa emak
sudah kembali kepada Allah, kenapa harus secepat ini, kenapa
Allah tidak mengizinkanku untuk membahagiakan mamak
sedikit saja, rasanya baru kemarin mamak meyakinkanku
untuk bisa meraih kesuksesan ditengah keterbatasan yang
Allah karuniakan untukku.
*bersambung.....